Monday, May 31, 2010

Ketika Sang Toyota Terkapar Penuh Luka


Malam yang muram tengah menggelayuti kota Tokyo yang megah. Di salah satu sudut ruangan markas besar Toyota, Akio Toyoda tampak tengah terpekur dalam sembilu kepedihan yang mendalam. Akio adalah cucu langsung sang pendiri, Kiichiro Toyoda, dan ia belum genap dua tahun diangkat sebagai CEO Toyota, perusahaan mobil terbesar di dunia.

Namun malam itu terasa begitu meletihkan. Akio sadar reputasi perusahaan yang didirikan sang kakeknya itu kini tengah terpelanting dalam tebing kehancuran. Wajah Akio sungguh terasa sendu, dan ia hanya bisa menatap gelapnya malam dengan penuh rasa masgul. Semilir angin malam yang membelah kota Tokyo tampak kian terasa membeku.

Akio Toyoda layak tenggelam dalam duka. Minggu-minggu ini Toyota memang tengah didera masalah terberat yang pernah ada dalam sejarah panjang 70 tahun kehidupannya. Di Amerika dan Kanada, pasar mobil terbesar didunia dan juga bagi Toyota, perusahaan ini harus menarik ulang jutaan mobilnya yang laris, termasuk Prius, Camry dan Corolla. Ada sejumlah masalah serius dengan pedal gas-nya.

Berita itu sungguh terasa mengejutkan. Bagaimana mungkin Toyota, sebuah simbol kualitas dalam industri mobil dunia, bisa meloloskan begitu banyak mobil dengan mutu yang amat memilukan? Bagaimana mungkin perusahaan yang selama ini memiliki reputasi yang begitu wangi bisa terpelanting dalam tragedi kegagalan produk yang begitu masif? Ya kenapa semua ini bisa terjadi?

Ada tiga jawaban yang ingin dihidangkan disini. Dan tiga jawaban yang sebentar lagi akan kita kunyah bersama ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana semestinya meracik dan mengeksekusi strategi bisnis.

Jawaban pertama adalah ini : tragedi Toyota ini tak lain tak bukan adalah buah kesuksesan Toyota sendiri. Dengan kata lain, Toyota sejatinya hanya menjadi korban dari pertumbuhan bisnis yang terlalu cepat ia alami. Dalam lima tahun terakhir ini dunia memang tercengang dengan pertumbuhan penjualan mobil Toyota di seluruh dunia, terutama di pasar Amerika. Apalagi ketika tahun lalu General Motor — produsen utama mobil di Amerika – kolaps. Kejadian ini langsung melejitkan produksi mobil Toyota ke peringkat satu dunia.

Namun ternyata Toyota belum siap menjadi nomer satu. Toyota merasa gamang. Pertumbuhan bisnis yang terlalu pesat itu membuat sistem produksi global Toyota gelagapan. Memang pihak Toyota dengan cepat membangun banyak pabrik mobil di Amerika untuk mengimbangi permintaan pasar yang terus tumbuh dengan pesat. Namun membangun pabrik dengan terlalu cepat demi memenuhi permintaan pasar yang terus tumbuh ternyata membuat banyak lubang disana-sini; dan persis disinilah tragedi kegagalan mutu itu mulai terjadi.

Jawaban kedua berkaitan dengan yang pertama : ketika memutuskan membangun banyak pabrik mobil di Amerika, pihak top manajemen di Jepang sadar bahwa itu harus segera diimbangi dengan penyiapan SDM yang tangguh. Begitulah, mereka lalu mengirim ratusan teknisi terbaiknya untuk mengajari para pekerja Amerika tentang sistem produksi dan filosofi mutu Toyota yang amat terkenal itu.

Namun mengajari konsep budaya mutu Toyota kepada para pekerja Amerika itu tidak bisa selesai dalam sekejap. Sementara tuntutan kecepatan produksi terus menyergap. Akibatnya bisa ditebak : ditangan para pekerja Amerika yang belum sepenuhnya mahir, maka konsep mutu Toyota yang legendaris itu ibarat macan yang terluka.

Jawaban terakhir adalah ini : strategi cost efficiency yang terlalu agresif. Harap diketahui, tiga tahun terakhir ini pihak top manajemen Toyota di Jepang memang mengkampanyekan strategi penghematan biaya di semua lini, termasuk dalam aspek desain dan produksi. Strategi ini sejatinya bagus buat mengendalikan biaya, namun tampaknya top management Toyota agak kebablasan. Beberapa waktu sebelum tragedi penarikan mobil itu, sebenarnya sejumlah supplier sudah mengeluh. Mereka bilang kadang terpaksa menurunkan mutu barang pasokannya demi memenuhi seruan cost efficency dari para petinggi Toyota di Jepang.

Jawaban yang terakhir ini membawa pesan yang sederhana namun lugas : penghematan biaya memang bagus, namun jika terlalu agresif dilakukan maka mutu produk selalu akan menjadi korban. Dan jika itu terjadi, dampaknya bisa terasa amat menyakitkan, persis seperti yang dialami Toyota hari-hari ini.

Demikianlah tiga faktor alasan yang mungkin bisa menjelaskan kenapa Toyota terpelanting dalam tragedi cacat produksi yang demikian memilukan. Akio Toyoda harus segera mengurai tiga akar masalah ini, dan segera menerapkan solusi secara cepat dan sigap (dan bukan dengan sikap lamban seperti yang ia pertontonkan tiga minggu belakangan ini).

Sebab jika krisis ini dibiarkan berlarut-larut, maka nama Toyota yang begitu harum bisa pelan-pelan lenyap ditelan angin malam kota Tokyo yang kian terasa membeku.

No comments:

Post a Comment